Powered By Blogger

Jumat, 04 November 2011

Kutitipkan Cintaku Padanya


Kutitipkan Cintaku Padanya

Langit telah berubah, musim demi musim berlalu tertelan waktu. Dan kutahu bahwa semuanya berlalu tanpa pernah berulang kembali, barang sedetik pun. Hari ini aku datang untuk memenuhi janji yang dulu kuucapkan padanya, aku masih mengingatnya sangat lekat, walaupun aku tak begitu memprioritasknya dalam benakku dari masa ketika aku mengucapkan janji itu, hingga masa ketika janji itu harus ku penuhi.

Satu hal yang kuyakini, bahwa segalanya yang telah terjadi adalah takdir yang terbaik, namun segalanya yang akan terjadi, dengan keluangannya memberikan kepada kita beberapa berbagai pilihan terbaik untuk memilih melakukan atau tidak terhadap suatu hal, yang dapat mengubah kenyataan. Itu yang membuatku tak pernah mengeluh dan selalu yakin hanya hal yang terbaiklah yang akan dan harus kuperbuat.

Kedua kakiku berpijak pada bagian bumi ini, tempat yang kuanggap sama di mana aku mengucapkan janjiku dulu, walaupun mungkin tak sepenuhnya tepat persis, laut bisa saja pasang dan surut, dan tempatku berpijak lima langkah jaraknya dari deburan ombak pantai, bisa saja berubah dan relatif. Aku termenung seorang diri, berdiri di atas hamparan pasir memandangi kapal-kapal kecil penangkap ikan di tepi laut.  

Senja mulai turun dari singgasananya, perlahan mengintip di balik awan menampakkan auranya. Lalu gaun merah merona akan merekah di langit dengan begitu megahnya. Dan angin akan berlarian dari lautan menuju daratan turut menyambutnya, memukul lembut dan membuat gugurnya daun-daun yang kering. Sudah lebih dari tiga jam aku berdiri di sini, masih merenungi apa yang akan dapat kuberikan untuknya. Walau aku tahu mungkin ini tak ada artinya. Aku akan terus memikirkannya. Ini janjiku padanya. Aku tak mau berhutang terlalu banyak padanya.

Waktu berjalan memakan usiaku. Kehidupan telah memberiku banyak pelajaran untuk bertahan dalam kondisi apapun. Kupandangi ombak pantai yang berkejaran dengan perasaan was-was, khawatir, dan dengan angan yang melayang-layang. Kutahan nafas mencoba menenangkan diri. Menghembuskannya perlahan lewat mulut mencoba menahan bulir-bulir air bening yang hendak terperas dari kelopak mata.

Dia ibarat nyanyian dalam hatiku. Tak banyak yang bisa kuberikan untuknya, atau mungkin tak ada. Tak bisa sebanding dengan semua yang ia beri untukku. Ingin ku tulis sebait puisi. Tapi ku ingat, aku tak pandai berkata-kata. Aku bukan penyair.

Pada suatu pagi yang cerah. Aku menggandeng tangannya erat berjalan setengah berlari karena gerimis mulai turun. Ia selalu membuatku tersenyum di tengah kerisauanku, tangannya yang lembut dan jemarinya memerah lentik dan panjang menyentuhku mesra. Pernah suatu kali, ia menangis seseggukan tapi sembunyi-sembunyi dariku. Itu membuatku sangat sedih. Aku tahu ia merintih, menahan sakit yang ia derita bertahun-tahun, yang terlah mengakar, mengalir dalam darah hingga terlalu sulit disembuhkan. Aku menatapnya dan merasakan dalam dadaku, betapa hebat cinta yang ia tanamkan. Betapa aku tak berarti tanpanya. Takkan bisa tergantikan oleh siapapun, manis senyum bibirnya yang menawan, parasnya begitu mempesona, hatinya yang bening dan kaya. Ia selalu tersenyum menunduk, kelembutan dan sikap santun itu mengalir dari setiap tutur bahasa yang terucap dari bibir lembutnya. Teramat indah untuk dicinta.

Tapi kini ia sedang sakit parah....

Ku tatap langit yang mulai berubah warna. Semakin tak kuasa kubayangkan butir-butir air bening yang meleleh dari kelopak mata indahnya. Dalam hela nafasku, kurasakan lagi rintihannya, memelas, merayuku untuk tak bisa berpaling darinya. Aku tak kuasa, semakin membuncah rasa cintaku padanya, ingin kupeluk tubuhnya erat. Dan kunyatakan cintaku untuk kesekian kalinya dengan caraku.

Aku pun bergegas pulang, tak baik berlama-lama melamun sendiri. Sepatu kulit yang usang menemaniku menapakkan langkah, menyusuri trotoar berdebu. Dalam perjalananku, rasanya sulit untuk menemukan sebongkah cinta, yang bisa kurajut dan kupersembahkan untuknya. Mungkin sebuket bunga, agar ia menyunggingkan senyum manisnya, memperlihatkan sederetan gigi putih yang terususun rapi. Tapi yang ketemui mawar-mawar merah dalam vas, dengan paduan rumput-rumput hijau yang asri, ternyata buatan plastik dari pabrik. Aku tahu dia takkan suka jika aku membawa itu. Aku menghela nafasku perlahan dengan perasaan kecewa, sambil menata rambutku yang sedikit acak-acakan. Sulit rasanya membedakan yang mana asli dan tiruan.

Di tepian jalan itu terlalu banyak kutemukan manusia-manusia tak berguna berserakan, tak sedap untuk dijadikan objek pemandangan. Tak sulit untuk menggambarkan hal itu, kumal, bau, jorok, menjijikkan, dan terbuang. Mengais receh dan memakan makanan sisa yang nyaris membusuk di kotak sampah. Mereka yang menegadahkan tangannya dari pagi buta, menatap hari dengan hati yang terkoyak. Masih bocah, terlalu kecil untuk mengenyam kerasnya hidup. Aku tahu betul, mereka tak ingin seperti itu, tapi kenyataanlah yang memaksanya.

Mereka berlarian dengan tawa renyah menyambutku dari kejauhan. Seperti biasa kupeluk mereka dalam kehangatan dan kerinduan, seperti seorang ayah memeluk buah hatinya. Mereka berebut makanan yang ku bawa, dan kami bernyanyi, bercerita tentang banyak hal, tertawa-tawa hingga larut malam, melupakan sejenak keperihan yang melanda hati kami masing-masing.
.........................
Heal the world
Make it a better place
For you and for me and the entire human race
There are people dying
If you care enough for the living
Make a better place for
You and for me
Heal The World, Michael Jackson

Aku tersenyum, mereka selalu menyukai suaraku yang pas-pasan dengan iringan petikan gitar yang sedikit sumbang. Senyum polos itu selalu menyentuh ulu hatiku.
“Tetap bersemangat, jangan takut hadapi hari esok!”
Lalu aku berpamitan pulang karena sudah larut malam, dan aku harus beristirahat.

Kurebahkan tubuhku di atas kasur, sambil menatapi langit-langit kamar. Ku coba memejamkan mata, tapi senyumnya kembali menyeringai seolah melintas di hadapanku, membuatku merasa bersalah membiarkannya menderita. Cintaku kembali membuncah dan semakin bergejolak. Aku merindunya. Ingin melihat senyumnya mengembang.

Kuraih album foto memori dalam laci meja berkaver kuning keemasan, sudah usang karena usianya memang sudah tua. Hampir kuhafal tepat urutan foto dalam album itu karena terlalu sering kubuka. Makhluk besar berbadan putih itu berdiri dengan angkuh. Ia bersama geng-nya, menjarah habis kehidupan kecil di padang itu. Kakinya yang kuat dan keras bagai berlapis baja, meninggalkan jejak di tanah dengan congkak. Lalu mereka duduk setengah tertidur dengan mulutnya yang masih bergerak-gerak, mengunyah. ”Mooh………”, mereka mulai bersuara. Lelaki berbadan kecil duduk di punggungnya dan kakek tua berdiri di sampingnya. Aku tersenyum sesaat, itu fotoku dulu, seorang penggembala sapi. Dan kakek tua itu, mendiang kakekku ...bagiku ia pahlawan sejati, walaupun hanya bekas pejuang yang tak pernah dihargai negara. Ingatanku kembali melayang pada kisah perjuangan perang para pahlawan yang sering ia ceritakan sebelum aku terlelap. Bagiku kisah itu semacam tombak sang pemburu yang menghunus seekor menjangan tepat dilambungnya.

Kupejamkan mataku sesaat, dengan bibir bergetar berucap doa. Aku ingin ia bermimpi indah malam ini. Sudah bertahun-tahun lamanya kucoba meramu obat, dengan berbagai pucuk daun dan akar pohon yang kudapat dari berbagai penjuru negeri. Mereaksikannya dalam laboratoriumku, dengan peralatan seadanya yang kupunya. Mungkin efeknya tak bisa spontan, bereaksi dan jangka panjang baru terlihat hasilnya. Tapi aku akan tetap berusaha meramunya. Ia sedang sakit parah, penyakit itu mungkin telah menyerang sebagian besar organ vital tubuhnya. Tapi apa jadinya jika dibiarkan?

Lalu aku terhenyak.
Kisah itu selalu hadir membayangi tidurku, kisah tombak pemburu yang menghunus lambung menjangan. Cintaku kembali membuncah padanya. Berbagai rasa berkecamuk di hatiku, ingin kunyatakan cintaku sekali lagi dengan caraku. Mencoba sembuhkan sakitnya yang kini semakin parah. Janjiku padanya, mungkin tak sepenuhnya, tapi sedikit-sedikit selalu coba kutepati.
....
Senin pagi yang sedikit tertutup awan.
Kunyanyikan lagu W.R Supratman segenap jiwaku, dengan cintaku yang meluap, meresapi alunan hangat suara calon-calon pahlawan masa depan berseragam merah putih yang berbaris di belakangku. ”Bersama mereka, kutitipkan cintaku padanya”, bisikku dalam hati.

Takkan bisa tergantikan oleh siapapun, manis senyum bibirnya yang menawan, parasnya begitu mempesona, hatinya yang bening dan kaya. Ia selalu tersenyum menunduk, kelembutan dan sikap santun itu mengalir dari setiap tutur bahasa yang terucap dari bibir lembutnya. Terlalu manis hingga mengundang pertumpahan darah, yang dulu hingga hitungan ratusan tahun perompak asing dari negeri seberang berebut ingin memeluknya, merasakan desah cintanya. Memperkosanya hingga ia menangis terluka. Tapi kini tak akan lagi. Akan kuhias secantik bidadari.

Senyum hangat itu mengalun rendah menyusup lubang-lubang kecil di antara celah bilik bambu, di bawah cahaya lilin yang meliuk-liuk diterpa angin, sebuah kisah kedamaian terukir abadi, dengan kekuatan cinta, memeras darah dan nanah,  serta  cucuran air mata
demi bhakti  pada pertiwi.
Esty Indriyani Safitri
(Mahasiswi FKIP P.Kimia ’08)
Griya Mutiara, 28 Juli 2010
*cerpen ini dimuat dalam majalah Edisi Khusus Mahasiswa Baru 2010 UKPM Teknokra Universitas Lampung

Feature Prostitusi



Way Lunik untuk Majalengka


Ketika himpitan ekonomi beradu dengan kekuatan moral

Oleh: Esty Indriyani Safitri

Suatu malam di akhir bulan Oktober 2007. Lia Kusuma Wati duduk termenung menatap cucian piring bertumpuk di hadapanya. Tangan kanannya meremas-remas spon sabun cuci di mangkuk kecil, kran mengucur mengisi ember-ember penuh air. Lelah rasanya setelah seharian bekerja, malam hari pun tak istirahat hingga larut. Menjadi pelayan di Rumah Makan Warsun, di bilangan Jakarta Barat. Seperti biasa, pada minggu-minggu akhir bulan Lia sering terlihat gelisah. Upah lima ratus ribu rupiah hasil bekerja siang-malam, jauh dari mencukupi. Sebagian besar uang hasil kerjanya selalu ia sisihkan untuk dikirim ke kampung halamannya di Majalengka. Upah kerja berikutnya, baru akan ia terima awal bulan mendatang, sedangkan uang yang ia miliki sudah habis. Kerap kali ia terpaksa berhutang kepada temannya untuk mencukupi kebutuhannya. Membeli keperluan mandi, dan keperluan lain yang ia rasa sangat penting. Ia pun harus berhemat, sehemat mungkin.

Ini bukan kali pertamanya Lia bekerja menjadi pelayan. Tahun 1991 Lia merantau ke Semarang, meninggalkan kampung halamannya di Majalengka. Ketika itu Lia masih berusia tujuh belas tahun. Rambutnya panjang, badannya agak gemuk, dan kulitnya putih. Gadis yang hanya lulusan Sekolah Dasar itu pun bekerja menjadi pelayan di Toko Kue. Berawal di toko kue itu benih-benih cintanya mulai bersemi. Laki-laki itu bernama Suhono, yang dikenal Lia dari teman kerjanya. Orang asli Jawa Tengah. Mereka saling tertarik satu sama lain. Pertemanan pun berlanjut ke jenjang yang lebih serius. Baru genap dua bulan Lia bekerja, akhirnya ia memutuskan untuk berhenti. Mereka menikah dan hidup sederhana. Tak berselang lama, mereka dikaruniai anak dan diberi nama Ian Rahdiana. Dua tahun kemudian, lahir anak kedua, Angga Wicaksono. Awalnya kehidupan mereka berlangsung baik-baik saja. Suhono bekerja sebagai petani, dan Lia mengurus anak di rumah. Mereka hidup pas-pasan. Seiring berjalannya waktu, kebutuhan pokok sehari-hari semakin meningkat. Sementara penghasilan Suhono yang hanya berprofesi sebagai petani tidak mencukupi. Di tambah lagi anak-anak mereka sudah mulai bersekolah. Himpitan ekonomi itu membuat mereka sering bertengkar. Watak mereka sama keras, keributan tak terelakkan lagi. Beberapa kali Lia pulang ke rumah orangtuanya di Majalengka, meninggalkan suami dan anak-anaknya.

Pernikahan itu pun akhirnya kandas setelah berjalan tiga belas tahun lamanya. Tahun 2002, mereka bercerai. Hak asuh kedua anaknya jatuh ke tangan Lia.
“Kesulitan ekonomi membuat kami harus bercerai, hidup di rumah ini sudah terlalu susah. Apa lagi yang harus dipertahankan?” ungkap Lia.

Suhono kembali ke Jawa Tengah dan kabarnya telah menikah lagi. Lia hanya bisa pasrah. Ia urung untuk menikah lagi. Lantaran belum menemukan sosok yang tepat untuk menjadi suami serta ayah dari kedua anaknya. Lia memilih bekerja demi membiayai sekolah kedua anaknya yang ia boyong ke rumah orangtuanya di Majalengka. Menjadi janda dengan dua orang anak, bukanlah hal mudah bagi Lia. Kesulitan ekonomi membuat Lia memutuskan untuk merantau ke Jakarta.

Lima tahun terakhir Lia membanting tulang seorang diri untuk menghidupi kedua anaknya. Ian yang tengah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, dan Angga yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Hanya bergantung pada penghasilannya menjadi pelayan yang jauh dari cukup.

Malam semakin larut, pekerjaanya sedikit berkurang, karena pelanggan yang datang tak seramai seperti di siang hari. Di saat-saat itulah Lia pergunakan waktunya untuk bercakap-cakap dengan temannya. Secara langsung atau pun via telpon, mencari informasi lowongan pekerjaan yang memberikan penghasilan lebih besar.

Ada pekerjaan yang lumayan, tapi jangan bilang siapa-siapa.”
“Kerja apa?”, tanya Lia setengah berbisik.
“Coba dulu, pelayan seks.”

Sontak Lia kaget. Ia ngeri membayangkan bagaimana ia harus menjual dirinya demi mendapatkan uang. Lia tak langsung mengiyakan. Ia berusaha mencari pekerjaan lain yang lebih layak dengan penghasilan mencukupi. Namun hasilnya nihil. Dari mulut ke mulut informasi yang ia dapatkan sama. Menjadi pekerja seks komersil adalah satu-satunya peluang. Jalan pintas untuk mencari penghasilan yang mencukupi.

Pikiran Lia menerawang jauh, membayangkan masa depan kedua anaknya. Beban hidup yang ia rasakan sangat berat. Ialah ujung tombaknya, menjadi tulang punggung keluarga. Untuk beberapa hari Lia masih bekerja di Rumah Makan Warsun, sambil menimbang-nimbang tawaran temannya. Seringkali Lia tak bisa tidur. Terserang rasa rindu akan orangtua, juga Ian dan Angga. Menerima kabar bahwa Angga sakit, dan membutuhkan uang untuk berobat. Sementara Lia tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayainya. Merupakan hal yang paling menyakitkan bagi Lia. Seringkali ia menangis. Merasa bersalah. Tak bisa menyanding dan merawat anaknya seperti seharusnya seorang ibu terhadap anaknya

Lia menimbang-nimbang lagi tawaran pekerjaan temannya, iming-iming upahnya-lah yang membuat Lia tak berpikir panjang lagi. Akhirnya Lia nekat.
***

Jumat, 8 Oktober 2010.
Jalanan berlubang, debu tebal mengepul setiap kali kendaraan melintas. Polusi udara itu menyebabkan kendaraan harus mengurangi laju kecepatannya. Demi keselamatan dan keamanan berkendara. Terik sinar matahari membuat debu semakin tebal. Udara semakin tak layak untuk dihirup. Meskipun begitu, lalu lintas di sepanjang Jalan Kelurahan Way Lunik itu tetap ramai. Dua tower raksasa berdiri kokoh di satu sisi jalan. Puncaknya berbentuk kerucut. Di sekitar tower itu berdiri gedung-gedung kantor, serta gudang, beberapa truk terparkir di halamannya. Tempat itu dikelilingi pagar tembok tinggi berjalin kawat, milik PT Semen Baturaja Cabang Bandar Lampung.

Tepat di sebelah pagar tembok itu, terdapat perkampungan kecil bernama Kampungsawah. Bau anyir menyengat terbawa angin yang berhembus, bersumber dari selokan, sekitar satu meter lebarnya di sepanjang pagar. Di tepi selokan berjejer jemuran pakaian yang dijepit dengan kawat. Beberapa bangunan juga didirikan di atasnya. Menempel pada pagar. Berdinding juga berlantai papan alakadarnya. Ada yang dijadikan konter, warung kelontongan, warung makan, tempat berjualan ikan segar, kios buah, juga kandang ayam. Rumah-rumah berhimpitan, tanpa penghijauan. Lebih banyak dijumpai tempat karaoke, wisma, serta kafe, dibandingkan rumah penduduk biasa. Papan reklame bertuliskan produk minuman keras, terpajang hampir di setiap sudut wisma atau pun kafe. Beberapa laki-laki paruh baya tampak duduk bercakap-cakap sambil mengopi, dan menghisap rokok di beberapa kios yang tutup. Wanita-wanita berpakaian mini duduk-duduk di teras. Centil.  Menyapa laki-laki yang kebetulan lewat.

Kawasan Wajib Kondom. Plakat produk Sutra itu terpampang di teras rumah Kepala Desa setempat.

“Daerah sini komplek anak asusila.” Tutur Ujang pada saya.
Seorang tukang becak sepeda paruh baya asal Jawa yang merantau ke Lampung sejak 1996 lalu. Ketika itu Ujang tengah menurunkan penumpangnya, seorang ibu, di depan Wisma Varans.

Becak sepeda dan ojek menjadi sarana transportasi sehari-hari di komplek itu. Fasilitas umum yang tersedia hanya tempat ibadah, masjid yang tampak lengang. Juga pasar tempel yang beroperasi dari pagi hingga siang hari. Bangunan rumah-rumahnya tampak bergaya lama, atapnya rendah, temboknya kusam dan catnya sudah terkelupas. Tampak tak terawat dengan baik. Rumah-rumah tersebut memang sebagian besar hanya kontrakan, dengan biaya sewa tujuh sampai sembilan juta per tahun. Milik warga setempat yang disewakan. Mayoritas pekerja seksual adalah pendatang dari berbagai daerah, seperti Tulang Bawang, Palembang, Lampung Selatan, Lampung Tengah, ada pula yang datang dari pulau Jawa. Setiap pekerja seksual tersebut diwajibkan membayar tujuh puluh ribu rupiah setiap bulannya oleh kepala desa setempat. Untuk uang keamanan. Sehingga pekerja seksual itu tidak khawatir akan digrebek oleh pihak yang berwajib. Ketika ada razia dari pihak kepolisian, mereka aman. Karena sudah mengetahui instruksi dari pihak keamanan setempat sebelumnya. Di kompleks itu, pekerja seksual dengan warga biasa hidup berdampingan.

Di sebuah kontrakan di perempatan gang, Lia Kusuma Wati tinggal. Ketika itu, ia mengenakan tank top tipis berwarna putih, dipadu sweether wol ungu pendek. Celananya pendek di atas paha, membentuk garis celana dalam berwarna putih. Kutek dan lipstiknya merah merekah. Ia tengah duduk santai mendengarkan musik dangdut melalui headset dari handphone-nya. Sesekali kakinya yang mengenakan sandal Proshop warna hitam, ia hentak-hentakkan.

Ia mempersilakanku masuk. Kami duduk di kursi plastik berwarna putih kusam. Ruang tamu itu berukuran tiga kali empat meter. Bercat ungu, berplapon hijau. Terdapat satu set sound sistem, TV 21 inchi, dan kipas angin. Rumah itu terdiri dari satu ruang tamu, lorong dengan tiga kamar berjejer, dapur kecil dan kamar mandi. Lampu neon selalu dinyalakan walaupun pada siang hari. Karena tak ada ventilasi, dan semua jendela tertutup rapat. Beberapa botol bekas minuman keras terkumpul di kamar belakang, juga kardus yang berisi pakaian dalam kotor. Kamar-kamar itu berukuran dua kali tiga meter. Kasur terbentang di lantai tanpa ranjang, terdapat TV 21 inchi dan sebuah meja kecil untuk meletakkan minuman.

 “Hallo mas, mau ke sini?” tanya Lia pada seseorang di telpon. Lalu terdengar Lia mengiyakan ajakan seseorang di telpon itu. Ia berkedip sebelah mata memanja.

Pekerja seks komersial adalah seseorang yang menjual dirinya dengan melakukan hubungan seks untuk tujuan ekonomi. Secara umum, ada dua pelaku pekerja seks komersil, yaitu laki-laki yang sering disebut sebagai gigolo, dan perempuan yang sering disebut Wanita Tuna Susila (WTS). Berdasarkan modus operasinya, pekerja seks komersil dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu pekerja seks jalanan dan pekerja seks terselubung. Pekerja seks jalanan biasanya beroperasi secara terbuka di jalan-jalan, sedangkan pekerja seks terselubung beroperasi secara tertutup di dalam rumah.

Lia mengakui awalnya ia takut melakukan hubungan seksual bebas, tapi karena ia sudah janda, lama-lama ia terbiasa. Upahnya untuk sekali melakukan hubungan seksual adalah sebesar dua ratus ribu rupiah. Mereka melakukan hubungan seksual di dalam rumah. Terlebih dahulu seorang laki-laki datang, lalu menawar. Setelah sepakat mengenai harga, alat kontrasepsi di keluarkan, dan mereka melakukan hubungan seksual tertutup. Tanpa tahap saling berkenalan terlebih dahulu.

“Saya tidak tahu, pelanggan itu siapa, apa pekerjaannya dan di mana rumahnya.”
“Lalu, bagaimana mereka bisa tahu Mbak Lia?”
“Ya, mereka datang saja ke sini.”
“Mbak kerja tiap malam ya?”
“Ya tergantung kalau ada pelanggan, kalau gak ada, ya nganggur. Kalau lagi menstruasi juga gak kerja.”

Pelanggan yang datang tidak menentu, terkadang ramai setiap bulannya, terkadang juga hanya sesekali. Ketika ramai pelanggan yang datang, penghasilan Lia mencapai lima juta untuk satu bulan. Ketika sepi hanya mencapai sekitar tiga juta untuk satu bulannya. Ditanya mengenai ancaman penyebaran infeksi menular seksual HIV/AIDS, Lia tidak khawatir. Secara berkala setiap bulannya, para pekerja seksual itu memeriksakan daerah vaginanya ke Dokter spesialis di Puskesmas Sukaraja. Dokter spesialis yang menangani kesehatan pekerja seks di kompleks itu. Cukup dengan tujuh puluh ribu rupiah saja, ia mendapatkan perawatan daerah vagina, tablet antibiotik, serta satu kotak kondom. Alat kontrasepsi tersebut digunakan untuk menjaga agar sel sperma yang keluar dari penis laki-kali saat ejakulasi tertahan, tidak masuk ke sel ovarium wanita. Sehingga pembuahan janin tidak terjadi. Dengan demikian, para pekerja seksual tidak khawatir lagi akan kehamilan, atau terjangkit HIV/AIDS.

Di komplek Kampungsawah itu, masyarakat setempat menyediakan jasa tempat parkir. Karena sebagian besar jalanan berupa gang-gang kecil yang hanya cukup untuk satu jalur. Jika ada pelanggan yang menggunakan mobil, mereka memarkir kendaraannya di halaman parkir tersebut. Dengan cukup membayar lima ribu rupiah saja per mobil. Sedangkan untuk motor, biasanya mereka tidak memarkirnya di tempat tersebut, langsung di bawa ke halaman wisma.

Ditinjau dari perspektif  agama dan hukum, prostitusi dilarang dan di tentang keras keberadaannya. Namun, keberadaannya sudah tidak dapat dipungkiri lagi, dalam setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah pekerja seksual. Ini tidak lepas dari banyaknya permintaan (demand) terhadap prostitusi yang disikapi dengan peningkatan persediaan (supply) prostitusi. Keputusan menjadi pekerja seks komersial mayoritas dilatarbelakangi oleh beberapa hal, seperti himpitan ekonomi, broken-home, pergaulan bebas, serta ketidakharmonisan dalam hubungan seks dengan pasangan.

Lia mengerenyitkan dahinya, memandangi jalanan dari pintu ruang tamu yang terbuka lebar.
“Saya baru saja pulang kampung, baru tiga hari di sini.”
“Ian dan Angga sekarang di mana Mbak?”
“Masih di Majalengka, Ian sudah kerja di bengkel, Angga masih SMA.”
“Apakah mereka tahu Mbak di sini?”
“Ya gak lah. Saya bilang pada orang tua dan anak-anak, kerja di Rumah Makan Warsun.”
“Apakah tidak pernah ada yang curiga dengan Mbak?”
Gak ada. Ya kalau pulang, saya tidak seperti ini. Memakai baju panjang, menjaga sikap. Bulan puasa, saya juga berpuasa.”

Di tengah percakapan kami, dua orang ibu berjilbab motif batik turun dari motor, mereka masuk ke ruang tamu. Ia tersenyum ramah menyapa Lia. Kedua ibu itu menenteng plastik putih berisi pakaian. Tukang kredit yang menagih angsuran pakaian Lia. Mereka bercakap-cakap, tertawa-tawa tampak akrab seperti layaknya seorang ibu dengan tetangga rumahnya.

Dengan penghasilan rata-rata tiga sampai lima juta perbulannya, Lia merasa tidak kekurangan untuk memenuhi kebutuhan anaknya. Ditambah lagi sekarang orangtuanya sudah tidak bekerja. Namun untuk membuka usaha, Lia merasa modalnya masih belum mencukupi. Ia masih akan melanjutkan pekerjaannya sebagai pekerja seksual.
“Entah sampai kapan lagi. Manis-pahit saya jalani”, Ujarnya padaku.