Powered By Blogger

Jumat, 04 November 2011

Feature Prostitusi



Way Lunik untuk Majalengka


Ketika himpitan ekonomi beradu dengan kekuatan moral

Oleh: Esty Indriyani Safitri

Suatu malam di akhir bulan Oktober 2007. Lia Kusuma Wati duduk termenung menatap cucian piring bertumpuk di hadapanya. Tangan kanannya meremas-remas spon sabun cuci di mangkuk kecil, kran mengucur mengisi ember-ember penuh air. Lelah rasanya setelah seharian bekerja, malam hari pun tak istirahat hingga larut. Menjadi pelayan di Rumah Makan Warsun, di bilangan Jakarta Barat. Seperti biasa, pada minggu-minggu akhir bulan Lia sering terlihat gelisah. Upah lima ratus ribu rupiah hasil bekerja siang-malam, jauh dari mencukupi. Sebagian besar uang hasil kerjanya selalu ia sisihkan untuk dikirim ke kampung halamannya di Majalengka. Upah kerja berikutnya, baru akan ia terima awal bulan mendatang, sedangkan uang yang ia miliki sudah habis. Kerap kali ia terpaksa berhutang kepada temannya untuk mencukupi kebutuhannya. Membeli keperluan mandi, dan keperluan lain yang ia rasa sangat penting. Ia pun harus berhemat, sehemat mungkin.

Ini bukan kali pertamanya Lia bekerja menjadi pelayan. Tahun 1991 Lia merantau ke Semarang, meninggalkan kampung halamannya di Majalengka. Ketika itu Lia masih berusia tujuh belas tahun. Rambutnya panjang, badannya agak gemuk, dan kulitnya putih. Gadis yang hanya lulusan Sekolah Dasar itu pun bekerja menjadi pelayan di Toko Kue. Berawal di toko kue itu benih-benih cintanya mulai bersemi. Laki-laki itu bernama Suhono, yang dikenal Lia dari teman kerjanya. Orang asli Jawa Tengah. Mereka saling tertarik satu sama lain. Pertemanan pun berlanjut ke jenjang yang lebih serius. Baru genap dua bulan Lia bekerja, akhirnya ia memutuskan untuk berhenti. Mereka menikah dan hidup sederhana. Tak berselang lama, mereka dikaruniai anak dan diberi nama Ian Rahdiana. Dua tahun kemudian, lahir anak kedua, Angga Wicaksono. Awalnya kehidupan mereka berlangsung baik-baik saja. Suhono bekerja sebagai petani, dan Lia mengurus anak di rumah. Mereka hidup pas-pasan. Seiring berjalannya waktu, kebutuhan pokok sehari-hari semakin meningkat. Sementara penghasilan Suhono yang hanya berprofesi sebagai petani tidak mencukupi. Di tambah lagi anak-anak mereka sudah mulai bersekolah. Himpitan ekonomi itu membuat mereka sering bertengkar. Watak mereka sama keras, keributan tak terelakkan lagi. Beberapa kali Lia pulang ke rumah orangtuanya di Majalengka, meninggalkan suami dan anak-anaknya.

Pernikahan itu pun akhirnya kandas setelah berjalan tiga belas tahun lamanya. Tahun 2002, mereka bercerai. Hak asuh kedua anaknya jatuh ke tangan Lia.
“Kesulitan ekonomi membuat kami harus bercerai, hidup di rumah ini sudah terlalu susah. Apa lagi yang harus dipertahankan?” ungkap Lia.

Suhono kembali ke Jawa Tengah dan kabarnya telah menikah lagi. Lia hanya bisa pasrah. Ia urung untuk menikah lagi. Lantaran belum menemukan sosok yang tepat untuk menjadi suami serta ayah dari kedua anaknya. Lia memilih bekerja demi membiayai sekolah kedua anaknya yang ia boyong ke rumah orangtuanya di Majalengka. Menjadi janda dengan dua orang anak, bukanlah hal mudah bagi Lia. Kesulitan ekonomi membuat Lia memutuskan untuk merantau ke Jakarta.

Lima tahun terakhir Lia membanting tulang seorang diri untuk menghidupi kedua anaknya. Ian yang tengah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, dan Angga yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Hanya bergantung pada penghasilannya menjadi pelayan yang jauh dari cukup.

Malam semakin larut, pekerjaanya sedikit berkurang, karena pelanggan yang datang tak seramai seperti di siang hari. Di saat-saat itulah Lia pergunakan waktunya untuk bercakap-cakap dengan temannya. Secara langsung atau pun via telpon, mencari informasi lowongan pekerjaan yang memberikan penghasilan lebih besar.

Ada pekerjaan yang lumayan, tapi jangan bilang siapa-siapa.”
“Kerja apa?”, tanya Lia setengah berbisik.
“Coba dulu, pelayan seks.”

Sontak Lia kaget. Ia ngeri membayangkan bagaimana ia harus menjual dirinya demi mendapatkan uang. Lia tak langsung mengiyakan. Ia berusaha mencari pekerjaan lain yang lebih layak dengan penghasilan mencukupi. Namun hasilnya nihil. Dari mulut ke mulut informasi yang ia dapatkan sama. Menjadi pekerja seks komersil adalah satu-satunya peluang. Jalan pintas untuk mencari penghasilan yang mencukupi.

Pikiran Lia menerawang jauh, membayangkan masa depan kedua anaknya. Beban hidup yang ia rasakan sangat berat. Ialah ujung tombaknya, menjadi tulang punggung keluarga. Untuk beberapa hari Lia masih bekerja di Rumah Makan Warsun, sambil menimbang-nimbang tawaran temannya. Seringkali Lia tak bisa tidur. Terserang rasa rindu akan orangtua, juga Ian dan Angga. Menerima kabar bahwa Angga sakit, dan membutuhkan uang untuk berobat. Sementara Lia tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayainya. Merupakan hal yang paling menyakitkan bagi Lia. Seringkali ia menangis. Merasa bersalah. Tak bisa menyanding dan merawat anaknya seperti seharusnya seorang ibu terhadap anaknya

Lia menimbang-nimbang lagi tawaran pekerjaan temannya, iming-iming upahnya-lah yang membuat Lia tak berpikir panjang lagi. Akhirnya Lia nekat.
***

Jumat, 8 Oktober 2010.
Jalanan berlubang, debu tebal mengepul setiap kali kendaraan melintas. Polusi udara itu menyebabkan kendaraan harus mengurangi laju kecepatannya. Demi keselamatan dan keamanan berkendara. Terik sinar matahari membuat debu semakin tebal. Udara semakin tak layak untuk dihirup. Meskipun begitu, lalu lintas di sepanjang Jalan Kelurahan Way Lunik itu tetap ramai. Dua tower raksasa berdiri kokoh di satu sisi jalan. Puncaknya berbentuk kerucut. Di sekitar tower itu berdiri gedung-gedung kantor, serta gudang, beberapa truk terparkir di halamannya. Tempat itu dikelilingi pagar tembok tinggi berjalin kawat, milik PT Semen Baturaja Cabang Bandar Lampung.

Tepat di sebelah pagar tembok itu, terdapat perkampungan kecil bernama Kampungsawah. Bau anyir menyengat terbawa angin yang berhembus, bersumber dari selokan, sekitar satu meter lebarnya di sepanjang pagar. Di tepi selokan berjejer jemuran pakaian yang dijepit dengan kawat. Beberapa bangunan juga didirikan di atasnya. Menempel pada pagar. Berdinding juga berlantai papan alakadarnya. Ada yang dijadikan konter, warung kelontongan, warung makan, tempat berjualan ikan segar, kios buah, juga kandang ayam. Rumah-rumah berhimpitan, tanpa penghijauan. Lebih banyak dijumpai tempat karaoke, wisma, serta kafe, dibandingkan rumah penduduk biasa. Papan reklame bertuliskan produk minuman keras, terpajang hampir di setiap sudut wisma atau pun kafe. Beberapa laki-laki paruh baya tampak duduk bercakap-cakap sambil mengopi, dan menghisap rokok di beberapa kios yang tutup. Wanita-wanita berpakaian mini duduk-duduk di teras. Centil.  Menyapa laki-laki yang kebetulan lewat.

Kawasan Wajib Kondom. Plakat produk Sutra itu terpampang di teras rumah Kepala Desa setempat.

“Daerah sini komplek anak asusila.” Tutur Ujang pada saya.
Seorang tukang becak sepeda paruh baya asal Jawa yang merantau ke Lampung sejak 1996 lalu. Ketika itu Ujang tengah menurunkan penumpangnya, seorang ibu, di depan Wisma Varans.

Becak sepeda dan ojek menjadi sarana transportasi sehari-hari di komplek itu. Fasilitas umum yang tersedia hanya tempat ibadah, masjid yang tampak lengang. Juga pasar tempel yang beroperasi dari pagi hingga siang hari. Bangunan rumah-rumahnya tampak bergaya lama, atapnya rendah, temboknya kusam dan catnya sudah terkelupas. Tampak tak terawat dengan baik. Rumah-rumah tersebut memang sebagian besar hanya kontrakan, dengan biaya sewa tujuh sampai sembilan juta per tahun. Milik warga setempat yang disewakan. Mayoritas pekerja seksual adalah pendatang dari berbagai daerah, seperti Tulang Bawang, Palembang, Lampung Selatan, Lampung Tengah, ada pula yang datang dari pulau Jawa. Setiap pekerja seksual tersebut diwajibkan membayar tujuh puluh ribu rupiah setiap bulannya oleh kepala desa setempat. Untuk uang keamanan. Sehingga pekerja seksual itu tidak khawatir akan digrebek oleh pihak yang berwajib. Ketika ada razia dari pihak kepolisian, mereka aman. Karena sudah mengetahui instruksi dari pihak keamanan setempat sebelumnya. Di kompleks itu, pekerja seksual dengan warga biasa hidup berdampingan.

Di sebuah kontrakan di perempatan gang, Lia Kusuma Wati tinggal. Ketika itu, ia mengenakan tank top tipis berwarna putih, dipadu sweether wol ungu pendek. Celananya pendek di atas paha, membentuk garis celana dalam berwarna putih. Kutek dan lipstiknya merah merekah. Ia tengah duduk santai mendengarkan musik dangdut melalui headset dari handphone-nya. Sesekali kakinya yang mengenakan sandal Proshop warna hitam, ia hentak-hentakkan.

Ia mempersilakanku masuk. Kami duduk di kursi plastik berwarna putih kusam. Ruang tamu itu berukuran tiga kali empat meter. Bercat ungu, berplapon hijau. Terdapat satu set sound sistem, TV 21 inchi, dan kipas angin. Rumah itu terdiri dari satu ruang tamu, lorong dengan tiga kamar berjejer, dapur kecil dan kamar mandi. Lampu neon selalu dinyalakan walaupun pada siang hari. Karena tak ada ventilasi, dan semua jendela tertutup rapat. Beberapa botol bekas minuman keras terkumpul di kamar belakang, juga kardus yang berisi pakaian dalam kotor. Kamar-kamar itu berukuran dua kali tiga meter. Kasur terbentang di lantai tanpa ranjang, terdapat TV 21 inchi dan sebuah meja kecil untuk meletakkan minuman.

 “Hallo mas, mau ke sini?” tanya Lia pada seseorang di telpon. Lalu terdengar Lia mengiyakan ajakan seseorang di telpon itu. Ia berkedip sebelah mata memanja.

Pekerja seks komersial adalah seseorang yang menjual dirinya dengan melakukan hubungan seks untuk tujuan ekonomi. Secara umum, ada dua pelaku pekerja seks komersil, yaitu laki-laki yang sering disebut sebagai gigolo, dan perempuan yang sering disebut Wanita Tuna Susila (WTS). Berdasarkan modus operasinya, pekerja seks komersil dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu pekerja seks jalanan dan pekerja seks terselubung. Pekerja seks jalanan biasanya beroperasi secara terbuka di jalan-jalan, sedangkan pekerja seks terselubung beroperasi secara tertutup di dalam rumah.

Lia mengakui awalnya ia takut melakukan hubungan seksual bebas, tapi karena ia sudah janda, lama-lama ia terbiasa. Upahnya untuk sekali melakukan hubungan seksual adalah sebesar dua ratus ribu rupiah. Mereka melakukan hubungan seksual di dalam rumah. Terlebih dahulu seorang laki-laki datang, lalu menawar. Setelah sepakat mengenai harga, alat kontrasepsi di keluarkan, dan mereka melakukan hubungan seksual tertutup. Tanpa tahap saling berkenalan terlebih dahulu.

“Saya tidak tahu, pelanggan itu siapa, apa pekerjaannya dan di mana rumahnya.”
“Lalu, bagaimana mereka bisa tahu Mbak Lia?”
“Ya, mereka datang saja ke sini.”
“Mbak kerja tiap malam ya?”
“Ya tergantung kalau ada pelanggan, kalau gak ada, ya nganggur. Kalau lagi menstruasi juga gak kerja.”

Pelanggan yang datang tidak menentu, terkadang ramai setiap bulannya, terkadang juga hanya sesekali. Ketika ramai pelanggan yang datang, penghasilan Lia mencapai lima juta untuk satu bulan. Ketika sepi hanya mencapai sekitar tiga juta untuk satu bulannya. Ditanya mengenai ancaman penyebaran infeksi menular seksual HIV/AIDS, Lia tidak khawatir. Secara berkala setiap bulannya, para pekerja seksual itu memeriksakan daerah vaginanya ke Dokter spesialis di Puskesmas Sukaraja. Dokter spesialis yang menangani kesehatan pekerja seks di kompleks itu. Cukup dengan tujuh puluh ribu rupiah saja, ia mendapatkan perawatan daerah vagina, tablet antibiotik, serta satu kotak kondom. Alat kontrasepsi tersebut digunakan untuk menjaga agar sel sperma yang keluar dari penis laki-kali saat ejakulasi tertahan, tidak masuk ke sel ovarium wanita. Sehingga pembuahan janin tidak terjadi. Dengan demikian, para pekerja seksual tidak khawatir lagi akan kehamilan, atau terjangkit HIV/AIDS.

Di komplek Kampungsawah itu, masyarakat setempat menyediakan jasa tempat parkir. Karena sebagian besar jalanan berupa gang-gang kecil yang hanya cukup untuk satu jalur. Jika ada pelanggan yang menggunakan mobil, mereka memarkir kendaraannya di halaman parkir tersebut. Dengan cukup membayar lima ribu rupiah saja per mobil. Sedangkan untuk motor, biasanya mereka tidak memarkirnya di tempat tersebut, langsung di bawa ke halaman wisma.

Ditinjau dari perspektif  agama dan hukum, prostitusi dilarang dan di tentang keras keberadaannya. Namun, keberadaannya sudah tidak dapat dipungkiri lagi, dalam setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah pekerja seksual. Ini tidak lepas dari banyaknya permintaan (demand) terhadap prostitusi yang disikapi dengan peningkatan persediaan (supply) prostitusi. Keputusan menjadi pekerja seks komersial mayoritas dilatarbelakangi oleh beberapa hal, seperti himpitan ekonomi, broken-home, pergaulan bebas, serta ketidakharmonisan dalam hubungan seks dengan pasangan.

Lia mengerenyitkan dahinya, memandangi jalanan dari pintu ruang tamu yang terbuka lebar.
“Saya baru saja pulang kampung, baru tiga hari di sini.”
“Ian dan Angga sekarang di mana Mbak?”
“Masih di Majalengka, Ian sudah kerja di bengkel, Angga masih SMA.”
“Apakah mereka tahu Mbak di sini?”
“Ya gak lah. Saya bilang pada orang tua dan anak-anak, kerja di Rumah Makan Warsun.”
“Apakah tidak pernah ada yang curiga dengan Mbak?”
Gak ada. Ya kalau pulang, saya tidak seperti ini. Memakai baju panjang, menjaga sikap. Bulan puasa, saya juga berpuasa.”

Di tengah percakapan kami, dua orang ibu berjilbab motif batik turun dari motor, mereka masuk ke ruang tamu. Ia tersenyum ramah menyapa Lia. Kedua ibu itu menenteng plastik putih berisi pakaian. Tukang kredit yang menagih angsuran pakaian Lia. Mereka bercakap-cakap, tertawa-tawa tampak akrab seperti layaknya seorang ibu dengan tetangga rumahnya.

Dengan penghasilan rata-rata tiga sampai lima juta perbulannya, Lia merasa tidak kekurangan untuk memenuhi kebutuhan anaknya. Ditambah lagi sekarang orangtuanya sudah tidak bekerja. Namun untuk membuka usaha, Lia merasa modalnya masih belum mencukupi. Ia masih akan melanjutkan pekerjaannya sebagai pekerja seksual.
“Entah sampai kapan lagi. Manis-pahit saya jalani”, Ujarnya padaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar