Way Lunik untuk Majalengka
Ketika himpitan
ekonomi beradu dengan kekuatan moral
Oleh: Esty Indriyani Safitri
Suatu malam di akhir
bulan Oktober 2007.
Lia Kusuma Wati duduk termenung menatap cucian piring bertumpuk di hadapanya. Tangan
kanannya meremas-remas spon sabun cuci di mangkuk kecil, kran mengucur mengisi
ember-ember penuh air. Lelah rasanya setelah seharian bekerja, malam hari pun
tak istirahat hingga larut. Menjadi pelayan di Rumah Makan Warsun, di bilangan
Jakarta Barat. Seperti biasa, pada minggu-minggu akhir bulan Lia sering
terlihat gelisah. Upah lima
ratus ribu rupiah hasil bekerja siang-malam, jauh dari mencukupi. Sebagian
besar uang hasil kerjanya selalu ia sisihkan untuk dikirim ke kampung
halamannya di Majalengka. Upah kerja berikutnya, baru akan ia terima awal bulan
mendatang, sedangkan uang yang ia miliki sudah habis. Kerap kali ia terpaksa berhutang
kepada temannya untuk mencukupi kebutuhannya. Membeli keperluan mandi, dan
keperluan lain yang ia rasa sangat penting. Ia pun harus berhemat, sehemat
mungkin.
Ini bukan kali pertamanya Lia bekerja menjadi pelayan. Tahun
1991 Lia merantau ke Semarang ,
meninggalkan kampung halamannya di Majalengka. Ketika itu Lia masih berusia
tujuh belas tahun. Rambutnya panjang, badannya agak gemuk, dan kulitnya putih. Gadis
yang hanya lulusan Sekolah Dasar itu pun bekerja menjadi pelayan di Toko Kue. Berawal
di toko kue itu benih-benih cintanya mulai bersemi. Laki-laki itu bernama
Suhono, yang dikenal Lia dari teman kerjanya. Orang asli Jawa Tengah. Mereka
saling tertarik satu sama lain. Pertemanan pun berlanjut ke jenjang yang lebih
serius. Baru genap dua bulan Lia bekerja, akhirnya ia memutuskan untuk
berhenti. Mereka menikah dan hidup sederhana. Tak berselang lama, mereka
dikaruniai anak dan diberi nama Ian Rahdiana. Dua tahun kemudian, lahir anak
kedua, Angga Wicaksono. Awalnya kehidupan mereka berlangsung baik-baik saja.
Suhono bekerja sebagai petani, dan Lia mengurus anak di rumah. Mereka hidup
pas-pasan. Seiring berjalannya waktu, kebutuhan pokok sehari-hari semakin
meningkat. Sementara penghasilan Suhono yang hanya berprofesi sebagai petani
tidak mencukupi. Di tambah lagi anak-anak mereka sudah mulai bersekolah.
Himpitan ekonomi itu membuat mereka sering bertengkar. Watak mereka sama keras,
keributan tak terelakkan lagi. Beberapa kali Lia pulang ke rumah orangtuanya di
Majalengka, meninggalkan suami dan anak-anaknya.
Pernikahan itu pun akhirnya kandas setelah berjalan tiga
belas tahun lamanya. Tahun 2002, mereka bercerai. Hak asuh kedua anaknya jatuh
ke tangan Lia.
“Kesulitan ekonomi membuat kami harus bercerai, hidup di
rumah ini sudah terlalu susah. Apa lagi yang harus dipertahankan?” ungkap Lia.
Suhono kembali ke Jawa Tengah dan kabarnya telah menikah
lagi. Lia hanya bisa pasrah. Ia urung untuk menikah lagi. Lantaran belum
menemukan sosok yang tepat untuk menjadi suami serta ayah dari kedua anaknya.
Lia memilih bekerja demi membiayai sekolah kedua anaknya yang ia boyong ke
rumah orangtuanya di Majalengka. Menjadi janda dengan dua orang anak, bukanlah
hal mudah bagi Lia. Kesulitan ekonomi membuat Lia memutuskan untuk merantau ke Jakarta .
Malam semakin larut, pekerjaanya sedikit berkurang, karena
pelanggan yang datang tak seramai seperti di siang hari. Di saat-saat itulah
Lia pergunakan waktunya untuk bercakap-cakap dengan temannya. Secara langsung
atau pun via telpon, mencari informasi lowongan pekerjaan yang memberikan
penghasilan lebih besar.
“Ada
pekerjaan yang lumayan, tapi jangan bilang siapa-siapa.”
“Kerja apa?”, tanya Lia setengah berbisik.
“Coba dulu, pelayan seks.”
Sontak Lia kaget. Ia ngeri membayangkan bagaimana ia harus menjual
dirinya demi mendapatkan uang. Lia tak langsung mengiyakan. Ia berusaha mencari
pekerjaan lain yang lebih layak dengan penghasilan mencukupi. Namun hasilnya nihil.
Dari mulut ke mulut informasi yang ia dapatkan sama. Menjadi pekerja seks
komersil adalah satu-satunya peluang. Jalan pintas untuk mencari penghasilan
yang mencukupi.
Pikiran Lia menerawang jauh, membayangkan masa depan kedua anaknya.
Beban hidup yang ia rasakan sangat berat. Ialah ujung tombaknya, menjadi tulang
punggung keluarga. Untuk beberapa hari Lia masih bekerja di Rumah Makan Warsun,
sambil menimbang-nimbang tawaran temannya. Seringkali Lia tak bisa tidur.
Terserang rasa rindu akan orangtua, juga Ian dan Angga. Menerima kabar bahwa Angga
sakit, dan membutuhkan uang untuk berobat. Sementara Lia tidak memiliki uang
yang cukup untuk membiayainya. Merupakan hal yang paling menyakitkan bagi Lia.
Seringkali ia menangis. Merasa bersalah. Tak bisa menyanding dan merawat
anaknya seperti seharusnya seorang ibu terhadap anaknya
Lia menimbang-nimbang lagi tawaran pekerjaan temannya,
iming-iming upahnya-lah yang membuat Lia tak berpikir panjang lagi. Akhirnya
Lia nekat.
***
Jumat, 8 Oktober
2010.
Jalanan berlubang, debu tebal mengepul setiap kali
kendaraan melintas. Polusi udara itu menyebabkan kendaraan harus mengurangi
laju kecepatannya. Demi keselamatan dan keamanan berkendara. Terik sinar
matahari membuat debu semakin tebal. Udara semakin tak layak untuk dihirup.
Meskipun begitu, lalu lintas di sepanjang Jalan Kelurahan Way Lunik itu tetap
ramai. Dua tower raksasa berdiri kokoh di satu sisi jalan. Puncaknya berbentuk
kerucut. Di sekitar tower itu berdiri gedung-gedung kantor, serta gudang,
beberapa truk terparkir di halamannya. Tempat itu dikelilingi pagar tembok
tinggi berjalin kawat, milik PT Semen Baturaja Cabang Bandar Lampung.
Tepat di sebelah pagar tembok itu, terdapat perkampungan
kecil bernama Kampungsawah. Bau anyir menyengat terbawa angin yang berhembus,
bersumber dari selokan, sekitar satu meter lebarnya di sepanjang pagar. Di tepi
selokan berjejer jemuran pakaian yang dijepit dengan kawat. Beberapa bangunan
juga didirikan di atasnya. Menempel pada pagar. Berdinding juga berlantai papan
alakadarnya. Ada
yang dijadikan konter, warung kelontongan, warung makan, tempat berjualan ikan
segar, kios buah, juga kandang ayam. Rumah-rumah berhimpitan, tanpa
penghijauan. Lebih banyak dijumpai tempat karaoke, wisma, serta kafe, dibandingkan
rumah penduduk biasa. Papan reklame bertuliskan produk minuman keras, terpajang
hampir di setiap sudut wisma atau pun kafe. Beberapa laki-laki paruh baya tampak
duduk bercakap-cakap sambil mengopi, dan menghisap rokok di beberapa kios yang
tutup. Wanita-wanita berpakaian mini duduk-duduk di teras. Centil. Menyapa laki-laki yang kebetulan lewat.
Kawasan Wajib Kondom. Plakat produk Sutra itu terpampang di
teras rumah Kepala Desa setempat.
“Daerah sini komplek anak asusila.” Tutur Ujang pada saya.
Seorang tukang becak sepeda paruh baya asal Jawa yang
merantau ke Lampung sejak 1996 lalu. Ketika itu Ujang tengah menurunkan
penumpangnya, seorang ibu, di depan Wisma Varans.
Becak sepeda dan ojek menjadi sarana transportasi
sehari-hari di komplek itu. Fasilitas umum yang tersedia hanya tempat ibadah,
masjid yang tampak lengang. Juga pasar tempel yang beroperasi dari pagi hingga
siang hari. Bangunan rumah-rumahnya tampak bergaya lama, atapnya rendah,
temboknya kusam dan catnya sudah terkelupas. Tampak tak terawat dengan baik. Rumah-rumah
tersebut memang sebagian besar hanya kontrakan, dengan biaya sewa tujuh sampai
sembilan juta per tahun. Milik warga setempat yang disewakan. Mayoritas pekerja
seksual adalah pendatang dari berbagai daerah, seperti Tulang Bawang,
Palembang, Lampung Selatan, Lampung Tengah, ada pula yang datang dari pulau
Jawa. Setiap pekerja seksual tersebut diwajibkan membayar tujuh puluh ribu
rupiah setiap bulannya oleh kepala desa setempat. Untuk uang keamanan. Sehingga
pekerja seksual itu tidak khawatir akan digrebek oleh pihak yang berwajib. Ketika
ada razia dari pihak kepolisian, mereka aman. Karena sudah mengetahui instruksi
dari pihak keamanan setempat sebelumnya. Di kompleks itu, pekerja seksual
dengan warga biasa hidup berdampingan.
Di sebuah kontrakan di perempatan gang, Lia Kusuma Wati
tinggal. Ketika itu, ia mengenakan tank
top tipis berwarna putih, dipadu sweether
wol ungu pendek. Celananya pendek di atas paha, membentuk garis celana dalam
berwarna putih. Kutek dan lipstiknya merah merekah. Ia tengah duduk santai
mendengarkan musik dangdut melalui headset
dari handphone-nya. Sesekali kakinya
yang mengenakan sandal Proshop warna
hitam, ia hentak-hentakkan.
Ia mempersilakanku masuk. Kami duduk di kursi plastik
berwarna putih kusam. Ruang tamu itu berukuran tiga kali empat meter. Bercat
ungu, berplapon hijau. Terdapat satu set sound
sistem, TV 21 inchi, dan kipas angin. Rumah itu terdiri dari satu ruang
tamu, lorong dengan tiga kamar berjejer, dapur kecil dan kamar mandi. Lampu
neon selalu dinyalakan walaupun pada siang hari. Karena tak ada ventilasi, dan
semua jendela tertutup rapat. Beberapa botol bekas minuman keras terkumpul di
kamar belakang, juga kardus yang berisi pakaian dalam kotor. Kamar-kamar itu
berukuran dua kali tiga meter. Kasur terbentang di lantai tanpa ranjang,
terdapat TV 21 inchi dan sebuah meja kecil untuk meletakkan minuman.
“Hallo mas, mau ke
sini?” tanya Lia pada seseorang di telpon. Lalu terdengar Lia mengiyakan ajakan
seseorang di telpon itu. Ia berkedip sebelah mata memanja.
Pekerja seks komersial adalah seseorang yang menjual
dirinya dengan melakukan hubungan seks untuk tujuan ekonomi. Secara umum, ada
dua pelaku pekerja seks komersil, yaitu laki-laki yang sering disebut sebagai
gigolo, dan perempuan yang sering disebut Wanita Tuna Susila (WTS). Berdasarkan
modus operasinya, pekerja seks komersil dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu
pekerja seks jalanan dan pekerja seks terselubung. Pekerja seks jalanan
biasanya beroperasi secara terbuka di jalan-jalan, sedangkan pekerja seks
terselubung beroperasi secara tertutup di dalam rumah.
Lia mengakui awalnya ia takut melakukan hubungan seksual
bebas, tapi karena ia sudah janda, lama-lama ia terbiasa. Upahnya untuk sekali
melakukan hubungan seksual adalah sebesar dua ratus ribu rupiah. Mereka
melakukan hubungan seksual di dalam rumah. Terlebih dahulu seorang laki-laki
datang, lalu menawar. Setelah sepakat mengenai harga, alat kontrasepsi di
keluarkan, dan mereka melakukan hubungan seksual tertutup. Tanpa tahap saling
berkenalan terlebih dahulu.
“Saya tidak tahu, pelanggan itu siapa, apa pekerjaannya dan
di mana rumahnya.”
“Lalu, bagaimana mereka bisa tahu Mbak Lia?”
“Ya, mereka datang saja ke sini.”
“Mbak kerja tiap malam ya?”
“Ya tergantung kalau ada pelanggan, kalau gak ada, ya nganggur. Kalau lagi menstruasi
juga gak kerja.”
Pelanggan yang datang tidak menentu, terkadang ramai setiap
bulannya, terkadang juga hanya sesekali. Ketika ramai pelanggan yang datang,
penghasilan Lia mencapai lima
juta untuk satu bulan. Ketika sepi hanya mencapai sekitar tiga juta untuk satu
bulannya. Ditanya mengenai ancaman penyebaran infeksi menular seksual HIV/AIDS,
Lia tidak khawatir. Secara berkala setiap bulannya, para pekerja seksual itu
memeriksakan daerah vaginanya ke Dokter spesialis di Puskesmas Sukaraja. Dokter
spesialis yang menangani kesehatan pekerja seks di kompleks itu. Cukup dengan
tujuh puluh ribu rupiah saja, ia mendapatkan perawatan daerah vagina, tablet
antibiotik, serta satu kotak kondom. Alat kontrasepsi tersebut digunakan untuk
menjaga agar sel sperma yang keluar dari penis laki-kali saat ejakulasi tertahan,
tidak masuk ke sel ovarium wanita. Sehingga pembuahan janin tidak terjadi. Dengan
demikian, para pekerja seksual tidak khawatir lagi akan kehamilan, atau terjangkit
HIV/AIDS.
Di komplek Kampungsawah itu, masyarakat setempat
menyediakan jasa tempat parkir. Karena sebagian besar jalanan berupa gang-gang
kecil yang hanya cukup untuk satu jalur. Jika ada pelanggan yang menggunakan
mobil, mereka memarkir kendaraannya di halaman parkir tersebut. Dengan cukup
membayar lima
ribu rupiah saja per mobil. Sedangkan untuk motor, biasanya mereka tidak
memarkirnya di tempat tersebut, langsung di bawa ke halaman wisma.
Ditinjau dari perspektif
agama dan hukum, prostitusi dilarang dan di tentang keras keberadaannya.
Namun, keberadaannya sudah tidak dapat dipungkiri lagi, dalam setiap tahunnya
terjadi peningkatan jumlah pekerja seksual. Ini tidak lepas dari banyaknya
permintaan (demand) terhadap
prostitusi yang disikapi dengan peningkatan persediaan (supply) prostitusi. Keputusan menjadi pekerja seks komersial
mayoritas dilatarbelakangi oleh beberapa hal, seperti himpitan ekonomi, broken-home, pergaulan bebas, serta
ketidakharmonisan dalam hubungan seks dengan pasangan.
Lia mengerenyitkan dahinya, memandangi jalanan dari pintu
ruang tamu yang terbuka lebar.
“Saya baru saja pulang kampung, baru tiga hari di sini.”
“Ian dan Angga sekarang di mana Mbak?”
“Masih di Majalengka, Ian sudah kerja di bengkel, Angga
masih SMA.”
“Apakah mereka tahu Mbak di sini?”
“Ya gak lah. Saya
bilang pada orang tua dan anak-anak, kerja di Rumah Makan Warsun.”
“Apakah tidak pernah ada yang curiga dengan Mbak?”
“Gak ada. Ya
kalau pulang, saya tidak seperti ini. Memakai baju panjang, menjaga sikap.
Bulan puasa, saya juga berpuasa.”
Di tengah percakapan kami, dua orang ibu berjilbab motif
batik turun dari motor, mereka masuk ke ruang tamu. Ia tersenyum ramah menyapa
Lia. Kedua ibu itu menenteng plastik putih berisi pakaian. Tukang kredit yang
menagih angsuran pakaian Lia. Mereka bercakap-cakap, tertawa-tawa tampak akrab
seperti layaknya seorang ibu dengan tetangga rumahnya.
Dengan penghasilan rata-rata tiga sampai lima juta perbulannya, Lia merasa tidak
kekurangan untuk memenuhi kebutuhan anaknya. Ditambah lagi sekarang orangtuanya
sudah tidak bekerja. Namun untuk membuka usaha, Lia merasa modalnya masih belum
mencukupi. Ia masih akan melanjutkan pekerjaannya sebagai pekerja seksual.
“Entah sampai kapan lagi. Manis-pahit saya jalani”, Ujarnya
padaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar