Kutitipkan Cintaku Padanya
Langit telah berubah, musim demi musim berlalu tertelan
waktu. Dan kutahu bahwa semuanya berlalu
tanpa pernah berulang kembali, barang sedetik pun. Hari ini aku datang untuk
memenuhi janji yang dulu kuucapkan padanya, aku masih mengingatnya sangat
lekat, walaupun aku tak begitu memprioritasknya dalam benakku dari masa ketika aku
mengucapkan janji itu, hingga masa ketika janji itu harus ku penuhi.
Satu
hal yang kuyakini, bahwa segalanya yang telah terjadi adalah takdir yang terbaik,
namun segalanya yang akan terjadi, dengan keluangannya memberikan kepada kita
beberapa berbagai pilihan terbaik untuk memilih melakukan atau tidak terhadap
suatu hal, yang dapat mengubah kenyataan. Itu yang membuatku tak pernah
mengeluh dan selalu yakin hanya hal yang terbaiklah yang akan dan harus
kuperbuat.
Kedua
kakiku berpijak pada bagian bumi ini, tempat yang kuanggap sama di mana aku
mengucapkan janjiku dulu, walaupun mungkin tak sepenuhnya tepat persis, laut
bisa saja pasang dan surut, dan tempatku berpijak lima langkah jaraknya dari deburan ombak
pantai, bisa saja berubah dan relatif. Aku termenung seorang diri, berdiri di
atas hamparan pasir memandangi kapal-kapal kecil penangkap ikan di tepi laut.
Senja mulai turun dari singgasananya, perlahan mengintip
di balik awan menampakkan auranya. Lalu gaun merah merona akan merekah di
langit dengan begitu megahnya. Dan angin akan berlarian dari lautan menuju
daratan turut menyambutnya, memukul lembut dan membuat gugurnya daun-daun yang
kering. Sudah lebih dari tiga jam aku berdiri di sini, masih merenungi apa yang
akan dapat kuberikan untuknya. Walau aku tahu mungkin ini tak ada artinya. Aku
akan terus memikirkannya. Ini janjiku
padanya. Aku tak mau berhutang terlalu banyak padanya.
Waktu berjalan memakan usiaku. Kehidupan telah memberiku
banyak pelajaran untuk bertahan dalam kondisi apapun. Kupandangi ombak pantai
yang berkejaran dengan perasaan was-was, khawatir, dan dengan angan yang
melayang-layang. Kutahan nafas mencoba menenangkan diri. Menghembuskannya
perlahan lewat mulut mencoba menahan bulir-bulir air bening yang hendak terperas
dari kelopak mata.
Dia ibarat nyanyian dalam hatiku. Tak banyak yang bisa
kuberikan untuknya, atau mungkin tak ada. Tak bisa sebanding dengan semua yang
ia beri untukku. Ingin ku tulis sebait puisi. Tapi ku ingat, aku tak pandai
berkata-kata. Aku bukan penyair.
Pada suatu pagi yang cerah. Aku menggandeng tangannya erat berjalan
setengah berlari karena gerimis mulai turun. Ia selalu membuatku tersenyum di
tengah kerisauanku, tangannya yang lembut dan jemarinya memerah lentik dan
panjang menyentuhku mesra. Pernah suatu kali, ia menangis seseggukan tapi
sembunyi-sembunyi dariku. Itu membuatku sangat sedih. Aku tahu ia merintih,
menahan sakit yang ia derita bertahun-tahun, yang terlah mengakar, mengalir
dalam darah hingga terlalu sulit disembuhkan. Aku menatapnya dan merasakan
dalam dadaku, betapa hebat cinta yang ia tanamkan. Betapa aku tak berarti
tanpanya. Takkan bisa tergantikan oleh siapapun, manis senyum bibirnya yang
menawan, parasnya begitu mempesona, hatinya yang bening dan kaya. Ia selalu
tersenyum menunduk, kelembutan dan sikap santun itu mengalir dari setiap tutur
bahasa yang terucap dari bibir lembutnya. Teramat indah untuk dicinta.
Tapi kini ia sedang sakit parah....
Ku
tatap langit yang mulai berubah warna. Semakin tak kuasa kubayangkan butir-butir air bening yang
meleleh dari kelopak mata indahnya. Dalam hela nafasku, kurasakan lagi
rintihannya, memelas, merayuku untuk tak bisa berpaling darinya. Aku tak kuasa,
semakin membuncah rasa cintaku padanya, ingin kupeluk tubuhnya erat. Dan
kunyatakan cintaku untuk kesekian kalinya dengan caraku.
Aku pun bergegas pulang, tak baik berlama-lama melamun
sendiri. Sepatu kulit yang usang menemaniku menapakkan langkah, menyusuri
trotoar berdebu. Dalam perjalananku, rasanya sulit untuk menemukan sebongkah
cinta, yang bisa kurajut dan kupersembahkan untuknya. Mungkin sebuket bunga,
agar ia menyunggingkan senyum manisnya, memperlihatkan sederetan gigi putih
yang terususun rapi. Tapi yang ketemui mawar-mawar merah dalam vas, dengan
paduan rumput-rumput hijau yang asri, ternyata buatan plastik dari pabrik. Aku
tahu dia takkan suka jika aku membawa itu. Aku menghela nafasku perlahan dengan
perasaan kecewa, sambil menata rambutku yang sedikit acak-acakan. Sulit rasanya
membedakan yang mana asli dan tiruan.
Di tepian jalan itu terlalu banyak kutemukan manusia-manusia
tak berguna berserakan, tak sedap untuk dijadikan objek pemandangan. Tak sulit
untuk menggambarkan hal itu, kumal, bau, jorok, menjijikkan, dan terbuang. Mengais
receh dan memakan makanan sisa yang nyaris membusuk di kotak sampah. Mereka
yang menegadahkan tangannya dari pagi buta, menatap hari dengan hati yang
terkoyak. Masih bocah, terlalu kecil untuk mengenyam kerasnya hidup. Aku tahu
betul, mereka tak ingin seperti itu, tapi kenyataanlah yang memaksanya.
Mereka berlarian dengan tawa renyah menyambutku dari
kejauhan. Seperti biasa kupeluk mereka dalam kehangatan dan kerinduan, seperti seorang
ayah memeluk buah hatinya. Mereka berebut makanan yang ku bawa, dan kami
bernyanyi, bercerita tentang banyak hal, tertawa-tawa hingga larut malam,
melupakan sejenak keperihan yang melanda hati kami masing-masing.
.........................
Heal the
world
Make it a better place
For you and for me and the entire human race
There are people dying
If you care enough for the living
Make a better place for
You and for me
Make it a better place
For you and for me and the entire human race
There are people dying
If you care enough for the living
Make a better place for
You and for me
Heal The World, Michael Jackson
Aku tersenyum, mereka selalu menyukai suaraku yang
pas-pasan dengan iringan petikan gitar yang sedikit sumbang. Senyum polos itu selalu menyentuh ulu hatiku.
“Tetap bersemangat, jangan takut hadapi hari esok!”
Lalu aku berpamitan pulang karena sudah larut malam, dan aku
harus beristirahat.
Kurebahkan tubuhku di atas kasur, sambil menatapi
langit-langit kamar. Ku coba memejamkan mata, tapi senyumnya kembali
menyeringai seolah melintas di hadapanku, membuatku merasa bersalah
membiarkannya menderita. Cintaku kembali membuncah dan semakin bergejolak. Aku
merindunya. Ingin melihat senyumnya mengembang.
Kuraih album foto memori dalam laci meja berkaver kuning
keemasan, sudah usang karena usianya memang sudah tua. Hampir kuhafal tepat urutan
foto dalam album itu karena terlalu sering kubuka. Makhluk
besar berbadan putih itu berdiri dengan angkuh. Ia bersama geng-nya, menjarah
habis kehidupan kecil di padang itu. Kakinya yang kuat dan keras bagai berlapis
baja, meninggalkan jejak di tanah dengan congkak. Lalu mereka duduk setengah
tertidur dengan mulutnya yang masih bergerak-gerak, mengunyah. ”Mooh………”, mereka
mulai bersuara. Lelaki berbadan kecil duduk di punggungnya dan kakek tua
berdiri di sampingnya. Aku tersenyum sesaat, itu fotoku dulu, seorang
penggembala sapi. Dan kakek tua itu, mendiang kakekku ...bagiku ia pahlawan
sejati, walaupun hanya bekas pejuang yang tak pernah dihargai negara. Ingatanku
kembali melayang pada kisah perjuangan perang para pahlawan yang sering ia
ceritakan sebelum aku terlelap. Bagiku kisah itu semacam tombak sang pemburu
yang menghunus seekor menjangan tepat dilambungnya.
Kupejamkan mataku sesaat, dengan bibir bergetar berucap
doa. Aku ingin
ia bermimpi indah malam ini. Sudah bertahun-tahun lamanya kucoba meramu obat,
dengan berbagai pucuk daun dan akar pohon yang kudapat dari berbagai penjuru
negeri. Mereaksikannya dalam laboratoriumku, dengan peralatan seadanya yang
kupunya. Mungkin
efeknya tak bisa spontan, bereaksi dan jangka panjang baru terlihat hasilnya.
Tapi aku akan tetap berusaha meramunya. Ia sedang sakit parah, penyakit itu
mungkin telah menyerang sebagian besar organ vital tubuhnya. Tapi apa jadinya
jika dibiarkan?
Lalu aku terhenyak.
Kisah itu selalu hadir membayangi tidurku, kisah tombak pemburu yang menghunus lambung menjangan. Cintaku
kembali membuncah padanya. Berbagai rasa berkecamuk di hatiku, ingin kunyatakan
cintaku sekali lagi dengan caraku. Mencoba sembuhkan sakitnya yang kini semakin
parah. Janjiku padanya, mungkin tak sepenuhnya, tapi sedikit-sedikit selalu coba
kutepati.
....
Senin pagi yang sedikit tertutup awan.
Kunyanyikan lagu W.R Supratman segenap jiwaku, dengan
cintaku yang meluap, meresapi alunan hangat suara calon-calon pahlawan masa
depan berseragam merah putih yang berbaris di belakangku. ”Bersama mereka,
kutitipkan cintaku padanya”, bisikku dalam hati.
Takkan bisa tergantikan oleh siapapun, manis senyum
bibirnya yang menawan, parasnya begitu mempesona, hatinya yang bening dan kaya.
Ia selalu tersenyum menunduk, kelembutan dan sikap santun itu mengalir dari
setiap tutur bahasa yang terucap dari bibir lembutnya. Terlalu manis hingga
mengundang pertumpahan darah, yang dulu hingga hitungan ratusan tahun perompak asing
dari negeri seberang berebut ingin memeluknya, merasakan desah cintanya.
Memperkosanya hingga ia menangis terluka. Tapi kini tak akan lagi. Akan kuhias
secantik bidadari.
Senyum hangat itu mengalun rendah menyusup lubang-lubang kecil di antara
celah bilik bambu, di bawah cahaya lilin yang meliuk-liuk diterpa angin, sebuah
kisah kedamaian terukir abadi, dengan kekuatan cinta, memeras darah dan nanah, serta cucuran air mata
demi bhakti pada pertiwi.
Esty
Indriyani Safitri
(Mahasiswi
FKIP P.Kimia ’08)
Griya
Mutiara, 28 Juli 2010
*cerpen ini dimuat dalam majalah Edisi Khusus Mahasiswa Baru 2010 UKPM
Teknokra Universitas Lampung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar