Powered By Blogger

Jumat, 04 November 2011

Kutitipkan Cintaku Padanya


Kutitipkan Cintaku Padanya

Langit telah berubah, musim demi musim berlalu tertelan waktu. Dan kutahu bahwa semuanya berlalu tanpa pernah berulang kembali, barang sedetik pun. Hari ini aku datang untuk memenuhi janji yang dulu kuucapkan padanya, aku masih mengingatnya sangat lekat, walaupun aku tak begitu memprioritasknya dalam benakku dari masa ketika aku mengucapkan janji itu, hingga masa ketika janji itu harus ku penuhi.

Satu hal yang kuyakini, bahwa segalanya yang telah terjadi adalah takdir yang terbaik, namun segalanya yang akan terjadi, dengan keluangannya memberikan kepada kita beberapa berbagai pilihan terbaik untuk memilih melakukan atau tidak terhadap suatu hal, yang dapat mengubah kenyataan. Itu yang membuatku tak pernah mengeluh dan selalu yakin hanya hal yang terbaiklah yang akan dan harus kuperbuat.

Kedua kakiku berpijak pada bagian bumi ini, tempat yang kuanggap sama di mana aku mengucapkan janjiku dulu, walaupun mungkin tak sepenuhnya tepat persis, laut bisa saja pasang dan surut, dan tempatku berpijak lima langkah jaraknya dari deburan ombak pantai, bisa saja berubah dan relatif. Aku termenung seorang diri, berdiri di atas hamparan pasir memandangi kapal-kapal kecil penangkap ikan di tepi laut.  

Senja mulai turun dari singgasananya, perlahan mengintip di balik awan menampakkan auranya. Lalu gaun merah merona akan merekah di langit dengan begitu megahnya. Dan angin akan berlarian dari lautan menuju daratan turut menyambutnya, memukul lembut dan membuat gugurnya daun-daun yang kering. Sudah lebih dari tiga jam aku berdiri di sini, masih merenungi apa yang akan dapat kuberikan untuknya. Walau aku tahu mungkin ini tak ada artinya. Aku akan terus memikirkannya. Ini janjiku padanya. Aku tak mau berhutang terlalu banyak padanya.

Waktu berjalan memakan usiaku. Kehidupan telah memberiku banyak pelajaran untuk bertahan dalam kondisi apapun. Kupandangi ombak pantai yang berkejaran dengan perasaan was-was, khawatir, dan dengan angan yang melayang-layang. Kutahan nafas mencoba menenangkan diri. Menghembuskannya perlahan lewat mulut mencoba menahan bulir-bulir air bening yang hendak terperas dari kelopak mata.

Dia ibarat nyanyian dalam hatiku. Tak banyak yang bisa kuberikan untuknya, atau mungkin tak ada. Tak bisa sebanding dengan semua yang ia beri untukku. Ingin ku tulis sebait puisi. Tapi ku ingat, aku tak pandai berkata-kata. Aku bukan penyair.

Pada suatu pagi yang cerah. Aku menggandeng tangannya erat berjalan setengah berlari karena gerimis mulai turun. Ia selalu membuatku tersenyum di tengah kerisauanku, tangannya yang lembut dan jemarinya memerah lentik dan panjang menyentuhku mesra. Pernah suatu kali, ia menangis seseggukan tapi sembunyi-sembunyi dariku. Itu membuatku sangat sedih. Aku tahu ia merintih, menahan sakit yang ia derita bertahun-tahun, yang terlah mengakar, mengalir dalam darah hingga terlalu sulit disembuhkan. Aku menatapnya dan merasakan dalam dadaku, betapa hebat cinta yang ia tanamkan. Betapa aku tak berarti tanpanya. Takkan bisa tergantikan oleh siapapun, manis senyum bibirnya yang menawan, parasnya begitu mempesona, hatinya yang bening dan kaya. Ia selalu tersenyum menunduk, kelembutan dan sikap santun itu mengalir dari setiap tutur bahasa yang terucap dari bibir lembutnya. Teramat indah untuk dicinta.

Tapi kini ia sedang sakit parah....

Ku tatap langit yang mulai berubah warna. Semakin tak kuasa kubayangkan butir-butir air bening yang meleleh dari kelopak mata indahnya. Dalam hela nafasku, kurasakan lagi rintihannya, memelas, merayuku untuk tak bisa berpaling darinya. Aku tak kuasa, semakin membuncah rasa cintaku padanya, ingin kupeluk tubuhnya erat. Dan kunyatakan cintaku untuk kesekian kalinya dengan caraku.

Aku pun bergegas pulang, tak baik berlama-lama melamun sendiri. Sepatu kulit yang usang menemaniku menapakkan langkah, menyusuri trotoar berdebu. Dalam perjalananku, rasanya sulit untuk menemukan sebongkah cinta, yang bisa kurajut dan kupersembahkan untuknya. Mungkin sebuket bunga, agar ia menyunggingkan senyum manisnya, memperlihatkan sederetan gigi putih yang terususun rapi. Tapi yang ketemui mawar-mawar merah dalam vas, dengan paduan rumput-rumput hijau yang asri, ternyata buatan plastik dari pabrik. Aku tahu dia takkan suka jika aku membawa itu. Aku menghela nafasku perlahan dengan perasaan kecewa, sambil menata rambutku yang sedikit acak-acakan. Sulit rasanya membedakan yang mana asli dan tiruan.

Di tepian jalan itu terlalu banyak kutemukan manusia-manusia tak berguna berserakan, tak sedap untuk dijadikan objek pemandangan. Tak sulit untuk menggambarkan hal itu, kumal, bau, jorok, menjijikkan, dan terbuang. Mengais receh dan memakan makanan sisa yang nyaris membusuk di kotak sampah. Mereka yang menegadahkan tangannya dari pagi buta, menatap hari dengan hati yang terkoyak. Masih bocah, terlalu kecil untuk mengenyam kerasnya hidup. Aku tahu betul, mereka tak ingin seperti itu, tapi kenyataanlah yang memaksanya.

Mereka berlarian dengan tawa renyah menyambutku dari kejauhan. Seperti biasa kupeluk mereka dalam kehangatan dan kerinduan, seperti seorang ayah memeluk buah hatinya. Mereka berebut makanan yang ku bawa, dan kami bernyanyi, bercerita tentang banyak hal, tertawa-tawa hingga larut malam, melupakan sejenak keperihan yang melanda hati kami masing-masing.
.........................
Heal the world
Make it a better place
For you and for me and the entire human race
There are people dying
If you care enough for the living
Make a better place for
You and for me
Heal The World, Michael Jackson

Aku tersenyum, mereka selalu menyukai suaraku yang pas-pasan dengan iringan petikan gitar yang sedikit sumbang. Senyum polos itu selalu menyentuh ulu hatiku.
“Tetap bersemangat, jangan takut hadapi hari esok!”
Lalu aku berpamitan pulang karena sudah larut malam, dan aku harus beristirahat.

Kurebahkan tubuhku di atas kasur, sambil menatapi langit-langit kamar. Ku coba memejamkan mata, tapi senyumnya kembali menyeringai seolah melintas di hadapanku, membuatku merasa bersalah membiarkannya menderita. Cintaku kembali membuncah dan semakin bergejolak. Aku merindunya. Ingin melihat senyumnya mengembang.

Kuraih album foto memori dalam laci meja berkaver kuning keemasan, sudah usang karena usianya memang sudah tua. Hampir kuhafal tepat urutan foto dalam album itu karena terlalu sering kubuka. Makhluk besar berbadan putih itu berdiri dengan angkuh. Ia bersama geng-nya, menjarah habis kehidupan kecil di padang itu. Kakinya yang kuat dan keras bagai berlapis baja, meninggalkan jejak di tanah dengan congkak. Lalu mereka duduk setengah tertidur dengan mulutnya yang masih bergerak-gerak, mengunyah. ”Mooh………”, mereka mulai bersuara. Lelaki berbadan kecil duduk di punggungnya dan kakek tua berdiri di sampingnya. Aku tersenyum sesaat, itu fotoku dulu, seorang penggembala sapi. Dan kakek tua itu, mendiang kakekku ...bagiku ia pahlawan sejati, walaupun hanya bekas pejuang yang tak pernah dihargai negara. Ingatanku kembali melayang pada kisah perjuangan perang para pahlawan yang sering ia ceritakan sebelum aku terlelap. Bagiku kisah itu semacam tombak sang pemburu yang menghunus seekor menjangan tepat dilambungnya.

Kupejamkan mataku sesaat, dengan bibir bergetar berucap doa. Aku ingin ia bermimpi indah malam ini. Sudah bertahun-tahun lamanya kucoba meramu obat, dengan berbagai pucuk daun dan akar pohon yang kudapat dari berbagai penjuru negeri. Mereaksikannya dalam laboratoriumku, dengan peralatan seadanya yang kupunya. Mungkin efeknya tak bisa spontan, bereaksi dan jangka panjang baru terlihat hasilnya. Tapi aku akan tetap berusaha meramunya. Ia sedang sakit parah, penyakit itu mungkin telah menyerang sebagian besar organ vital tubuhnya. Tapi apa jadinya jika dibiarkan?

Lalu aku terhenyak.
Kisah itu selalu hadir membayangi tidurku, kisah tombak pemburu yang menghunus lambung menjangan. Cintaku kembali membuncah padanya. Berbagai rasa berkecamuk di hatiku, ingin kunyatakan cintaku sekali lagi dengan caraku. Mencoba sembuhkan sakitnya yang kini semakin parah. Janjiku padanya, mungkin tak sepenuhnya, tapi sedikit-sedikit selalu coba kutepati.
....
Senin pagi yang sedikit tertutup awan.
Kunyanyikan lagu W.R Supratman segenap jiwaku, dengan cintaku yang meluap, meresapi alunan hangat suara calon-calon pahlawan masa depan berseragam merah putih yang berbaris di belakangku. ”Bersama mereka, kutitipkan cintaku padanya”, bisikku dalam hati.

Takkan bisa tergantikan oleh siapapun, manis senyum bibirnya yang menawan, parasnya begitu mempesona, hatinya yang bening dan kaya. Ia selalu tersenyum menunduk, kelembutan dan sikap santun itu mengalir dari setiap tutur bahasa yang terucap dari bibir lembutnya. Terlalu manis hingga mengundang pertumpahan darah, yang dulu hingga hitungan ratusan tahun perompak asing dari negeri seberang berebut ingin memeluknya, merasakan desah cintanya. Memperkosanya hingga ia menangis terluka. Tapi kini tak akan lagi. Akan kuhias secantik bidadari.

Senyum hangat itu mengalun rendah menyusup lubang-lubang kecil di antara celah bilik bambu, di bawah cahaya lilin yang meliuk-liuk diterpa angin, sebuah kisah kedamaian terukir abadi, dengan kekuatan cinta, memeras darah dan nanah,  serta  cucuran air mata
demi bhakti  pada pertiwi.
Esty Indriyani Safitri
(Mahasiswi FKIP P.Kimia ’08)
Griya Mutiara, 28 Juli 2010
*cerpen ini dimuat dalam majalah Edisi Khusus Mahasiswa Baru 2010 UKPM Teknokra Universitas Lampung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar